INILAH.COM, Jakarta - Sepanjang Juni 2012 ini, kabar tidak enak
tentang Indonesia dari luar negeri kembali terdengar. Yaitu penilaian
Komisi Hak Azasi Manusia PBB dan penggalangan kekuatan LSM internasional
yang ingin membantu rakyat Papua agar bisa menjadi sebuah negara
merdeka.
Substansi penilaian HAM PBB itu berkisar pada maraknya pelanggaran
atas HAM di Indonesia. Di antaranya apa yang pihak asing sebut pembiaran
pemerintah terhadap kehidupan yang tidak bertoleransi. Contoh kasus
pembangunan gedung Gereja Yasmin di Bogor, Jawa Barat.
Kelompok minoritas dinilai terintimidasi oleh dominasi mayoritas.
Jargon ini sangat provokatif. Dan tentu saja bermuatan unsur kontra
produktif bagi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Karena
penilaian itu justru dapat membangunkan amarah dari kelompok yang
berpikir sektarian dan fundamentalis yang berada di dalam ruang kekuatan
mayoritas, yang sesungguhnya tidak ingin dibangunkan.
Sumber penilaian HAM PBB itu sendiri antara lain berasal dari LSM
yang beroperasi di Indonesia. Tetapi LSM tersebut ada yang dibiayai
negara atau lembaga asing. Sehingga sekalipun berada di Indonesia dan
mempekerjakan para advokat berkebangsaan Indonesia tetapi tetap saja
mereka bekerja untuk kepentingan bangsa asing!
Para advokat kemanusiaan itu lebih pantas disebut sebagai antek-antek
orang asing. Penilaian PBB itu mendapatkan reaksi yang cukup keras dari
tokoh-tokoh Indonesia seperti bekas Wakil Presiden Jusuf Kalla dan
mantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi.
JK dan Hasyim Muzadi bereaksi sebab masalah pembangunan gedung Gereja
Yasmin Bogor seakan-akan merepresentasikan soal kehidupan intoleran di
Indonesia. Padahal tidak sedikit kegiatan umat Kristen di Indonesia
berjalan normal tanpa gangguan sama sekali. Misalnya saja tidak
digambarkan dalam laporan PBB itu bahwa umat Kristiani punya kebebasan
mengadakan ibadah di mal-mal, hotel-hotel dan gedung perkantoran.
Bantahan Jusuf Kalla dan Hasyim Muzadi memperoleh legitimasi. Sebab
ketika penilaian HAM PBB itu didisiminasi, pada saat yang hampir yang
bersamaan, sebuah Kebaktian Kebangunan Rohani di Stadion Bung Karno,
Senayan Jakarta, terselenggara sukses tanpa halangan, bersih dari
protes.
Kebangunan rohani itu diikuti oleh puluhan ribu umat Kristiani
termasuk sejumlah pengkhotbah plus missionari asing. Acara Kebaktian
Kebangunan Rohani yang mengambil tag-line, Dunia Mendoakan Perdamaian,
disiarkan langsung beberapa jaringan televisi internasional.
Dengan fakta ini, Indonesia yang berpenduduk mayoritas pemeluk agama
Islam tetapi memberi ruang terhormat dan kesetaraan kepada kelompok
minoritas, seharusnya perlu diapresiasi. Kegiatan itu membuktikan adanya
kehidupan yang toleran di Indonesia. Tetapi yang terjadi adalah adanya
pengabaian atas contoh kehidupan bertoleransi melalui kesuksesan
Kebaktian Kebangunan Rohani di Senayan itu.
Fakta itu tidak membuat PBB meralat apalagi meminta maaf kepada
Indonesia. Kebenaran tentang Indonesia, seolah tergantung pada
perspektif pihak asing. Itu sebabnya dengan pengalaman terakhir ini
bangsa Indonesia patut lebih cermat dan cerdik dalam membaca
agenda-agenda yang bertujuan menjadikan Indonesa sebagai sebuah negara
gagal.
Betapa berbahayanya jika kita terlalu percaya kepada penilaian
lembaga asing, lembaga internasional. Aktivitas mereka yang dibungkus
oleh indentitas sebagai badan non-partisan dan nirlaba, kemudian
bersuara tentang Indonesia, perlu diwaspadai. Jangan sampai
ketidakwaspadaan, membuat kita terjebak dalam agenda asing yang secara
sadar mencoba mengaburkan hal-hal positif di Indonesia.
Betapa naifnya kita sebagai bangsa yang memiliki logika dan kualitas
berpikir, lalu terlampau percaya bahwa pihak asing tidak memiliki agenda
untuk membuat Indonesia menjadi sebuah negara gagal.
Perbedaan agama di Indonesia sudah merupakan warisan nenek moyang
secara turun temurun, sehingga tidak perlu dipertentangkan. Perbedaan
bukan sebuah kelemahan apalagi kejahatan. Perbedaan jika disinerjikan
dapat menjadi sebuah kekuatan yang super dasyat.
Di era pemerintahan Orde Baru, masyarakat dijejali oleh indoktrinasi
tentang bahaya disintegrasi bangsa melalui isu SARA (Suku, Agama, Ras
dan Antaragolongan). Oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib), sebuah lembaga militer selalu diingingatkan
bahwa SARA dapat menjadi pintu masuk bagi pihak yang ingin memecah bela
bangsa Indonesia.
Kebijakan Kopkamtib itu ternyata merupakan hasil kajian dari berbagai
disiplin ilmu seperti : antropologi, psikologi, ekonomi dan politik.
Secara korporasi, tujuan pemerintah (Kopkamtib) dengan mengindoktrinasi
bahaya isu SARA untuk mencegah terjadinya perpecahan bangsa. Diyakini
perpecahan itulah yang pada akhirnya akan membuat Indonesia menjadi
sebuah negara gagal.
Oleh sebab itu kepada setiap kekuatan mulai dari politisi, aktivis,
budayawan, rohaniawan hingga ke orang-orang media, diminta Kopkamtib
untuk menghindarkan diri dari kegiatan memperdebatkan isu yang berada di
seputar SARA, Pemerintah secara terang-terangan melakukan pengekangan.
Kini masalah SARA sudah dilupakan. Kopkamtib pun sudah lama bubar.
Tetapi filosofi tentang SARA yang pernah digunakan untuk membentengi
Indonesia dari perpecahan nasional, nampaknya masih tetap relevan.
Kebebasan yang kebablasan justru mengingatkan perlunya sebuah alat
pengingat.
Dunia dan Indonesia sendiri sudah mengalami perubahan. Globalisasi menyebabkan dunia memiliki negara tanpa perbatasan, Le Monde N'est Connait Pas La Frontier (Perancis: Dunia tidak mengenal batas negara). Hasilnya di mana-mana terbentuk budaya baru.
Misalnya saja demokrasi Indonesia juga milik bangsa lain. Sebab
bangsa lain pun merasa ikut berjuang atas tercapainya demokratisasi di
Indonesia. Kepentingan bangsa asing juga menjadi kepentingan Indonesia.
Refleksinya, bangsa asing seakan memiliki hak setara dengan kita
untuk mengatur Indonesia sesuai format yang mereka inginkan. Terjadi
penafsiran yang kabur antara mana yang menjadi hak asing ketika
berbicara soal demokrasi dan hak azasi. Semua konsekuensi perubahan itu
tetap kita terima. Tetapi sikap untuk tidak terpengaruh oleh agenda yang
memecah belah bangsa harus tetap teguh.
Perhatikan teriakan beberapa LSM dan aktifis pro kemerdekaan Papua
yang menggalang kekuatan internasional untuk membantu rakyat Papua.
Alasan mereka, orang-orang terlatih membakar rumah-rumah rakyat Papua
kemudian membunuh rakyat sipil yang tidak punya kekuatan.
Urusan Papua sebagai persoalan dalam negeri, mereka ubah sesuai
agenda mereka menjadi isu dunia. Padahal agenda tersembunyi dari
pembelaan itu tidak lain hanyalah untuk memisahkan Papua dari NKRI.
Itu sebabnya teriakan LSM internasional itu harus dilawan. Dengan
bersatu, menyamakan visi kebangsaan, kita mampu melumpuhkan
internasionalisasi atas Papua. Sebab jika terjadi internasionalisasi,
pemisahan Papua dari NKRI itu tinggal menunggu waktu. Dan bila pemisahan
itu terwujud, maka itulah salah satu kegagalan terbesar bangsa
Indonesia. Masa depan Indonesia antara lain terletak di Papua, pulau
yang dikenal sebagai salah satu pulau terkaya di dunia.
Dengan bersikap keras terhadap LSM internasional, ini tidak berarti
kita menjadi anti terhadap segala hal yang berbau asing. Kita tetap
bersikap receptive tanpa harus kehilangan indentitas bangsa. Yang
terpenting, jangan kita biarkan agenda untuk menjadikan Indonesia
sebagai sebuah negara gagal, berhasil dijalankan oleh kekuatan manapun.
[mdr]
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya