Candu Pemekaran Dan Tantangan Pembaruan Identitas Budaya Papua
Add caption |
Oleh : I Ngurah Suryawan (*)
Kini,
perbincangan dan gerakan-gerakan politik tentang pemekaran bagai candu
bagi sebagaian (elit) rakyat Papua. Wacana ini berkembang dan menjadi
topik hangat di media massa, para-para beberapa rumah masyarakat yang
saya jumpai, hingga diskusi para dosen di sela-sela kelas perkuliahan di
kampus saya. Tapi, ketika saya tanya mama penjual sayur dan pinang
dekat asrama dosen tempat saya tinggal, mama menjawab enteng, “Epen kah
barang itu.”
Namun, saya
akan salah besar jika menganggap barang pemekaran ini tidak serius
seperti yang diungkapkan mama penjual sayiur langganan saya. Pada sebuah
kesempatan mengunjungi Kota Sorong akhir Januari 2014, saya menyaksikan
dan menangkap kesan yang sangat gamblang bagaimana wacana pemekaran
menjadi pembicaraan yang sangat menggairahkan. Paling tidak itu yang
saya saksikan di ruang depan dua hotel yang cukup besar di Kota Sorong.
Para elit-elit lokal dengan berpakaian rapi dan bersepatu kulit sejak
dari sarapan hingga melewati makan siang hari begitu asyik berdiskusi
menghabiskan waktu mereka ditemani rokok dan sirih pinang. Saya
perhatikan dan mendengarkan beberapa bagian pembicaraanya seputar
persoalan pemekaran daerah di kawasan kepala burung Papua.
Saya merasakan
pergunjingan dan gosip politik yang tidak jelas ujung pangkalnya
tentang pemekaran daerah menjadi candu yang menggiurkan sekaligus
memabokkan, khususnya bagi para elit local dan secara pelan namun pasti
hingga ke masyarakat akar rumput. Berita media-media massa pun membahas
tentang pro dan kontra seputar wacana pemekaran daerah yang
terus-menerus terjadi tanpa henti. Wacana pemekaran telah menjadi
konsumsi publik dan menjadi penegasan bahwa perbincangan tentang politik
menjadi hal yang dominan tentang Papua melebihi hal yang lain.
Beberapa
bagian masyarakat dan elit local terus memperjuangkan pemekaran,
sebagian elemen masyarakat lainnya justru menolaknya dengan berbagai
alasan. Mulai dari membuka peluang migrasi para pendatang,
ketersingkiran orang asli Papua di tanahnya sendiri, hingga korupsi
ekonomi dan politik yang melibatkan para elit lokal Papua dan beberapa
elemen masyarakat yang menjadi kolusinya. Cita-cita luhur pemekaran
untuk mensejahterakan masyarakat seakan pelan namun pasti menjadi jauh
dari harapan. Kesejahteraan rakyat telah dirampas oleh sebagian kelompok
masyarakat dalam komunitas mereka sendiri. Intinya terjadi keterpecahan
yang akut di tengah masyarakat antara yang berapi-api memperjuangkan
pemekaran dan menolaknya karena akhirnya menjadi candu yang melumpuhkan.
Namun,
rasionalitas pemekaran selalu mengedepankan persoalan ekonomi dan
kesejahteraan selain alasan-alasan yang lainnya. Bagaimana dengan
argumentasi kebudayaan ketika pemekaran diakui atau tidak menggunakan
basis argumentasi etnik sebagai sebuah DOB (Daerah Operasional Baru)?
Apakah pemekaran daerah pararel dengan kesamaan etnik dan
wilayah-wilayah budaya di Tanah Papua ini? Apa implikasi jika fenomena
ini terjadi di Tanah Papua ditengah interkoneksi global yang menuntut
orang Papua selalu berkoneksi dengan dunia luar, bukan hanya
komunitasnya sendiri.
Dilema Pembagian Wilayah Budaya
Wilayah
Provinsi Papua Barat dalam pembagian 7 wilayah adat di Papua termasuk
dalam wilayah budaya III Domberai (Papua Barat Laut) dan wilayah budaya
IV Bomberai (Papua Barat). Wilayah budaya III Domberai terdiri dari 52
suku dan terletak di Papua Barat Laut sekitar Sorong Manokwari,
meliputi: Manokwari, Bintuni, Babo, Wondama, Wasi, Sorong, Raja Ampat,
Teminabuan, Inawatan, Ayamaru, Aifat, dan Aitinyo. Sementara wilayah
budaya IV terletak di Papua Barat terdiri dari 19 suku terletak di
wilayah Fakfak, Mimika dan sekitarnya yang meliputi: Fakfak, Kaimana,
Kokonao, Mimika.
Pembagian
wilayah budaya yang sering dikenal ini menurut Flassy (1995:11)
merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan untuk mengatasi
kesukaran yang ditemukan dalam kekayaan diversitas budaya yang ada di
Tanah Papua. Oleh sebab itulah dicari pemecahannya dengan jalan
merduksinya ke dalam jumlah-jumlah yang lebih kecil melalui konsep
“wilayah budaya”. Pengertian dari konsep ini adalah menyatukan sejumlah
komunitas yang terdapat di seluruh daerah meskipun masing-masing
relative masih memperlihatkan perbedaan yang bervariasi.
Reduksi budaya
melalui pembagian wilayah budaya kini memantik kompleksitas persoalan
seiring dengan perjalanan Papua menjadi wilayah yang terus berkembang
dan mengalami transformasi social-budaya yang tak terhindarkan. Salah
satu persoalan yang berada di depan mata adalah gairah pemekaran daerah
yang tak terbendung di Papua yang menyeret persoalan sentimen
kekerabatan (suku) dan juga etnik. Usulan DOB dikhawatirkan berimplikasi
fragmentasi (keterpecahan) pada masyarakat Papua sehingga menimbulkan
konflik yang berkepanjangan. Oleh sebab itulah menjadi patut
dipertanyakan kembali reduksi budaya dalam 7 wilayah budaya di Tanah
Papua apakah masih relevan untuk menjelaskan dinamika pemekaran daerah
dan relasi-relasi sosial yang semakin kompleks ketika Tanah Papua sudah
terinterkoneksi dengan dunia global.
Jika menelisik
ke belakang, sejarah pemekaran di Tanah Papua berawal dari terpecahnya
Provinsi Irian Jaya menjadi Irian Jaya Barat (kini bernama Provinsi
Papua dan Papua Barat). Berdirinya provinsi baru yang nama sebelumnya
adalah Irian Jaya Barat berawal dari dialog antara tokoh-tokoh
masyarakat Irian Jaya Barat dengan pemerintah Indonesia pada 16
September 2002. Para tokoh-tokoh masyarakat Papua ini menyampaikan agar
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dan Menteri Dalam Negeri segera
mengaktifkan kembali Provinsi Irian Jaya Barat yang sudah ditetapkan
pad 12 Oktober 1999. Provinsi Irian Jaya Barat didirikan berdasarkan
Undang-Undang No. 45/1999 dan dipercepat dengan Instruksi Presiden
(Inpres) No. 1/2003. Peresmian Kantor Gubernur Irian Jaya Barat
dilakukan oleh Pejabat Gubernur Abraham Oktavianus Ataruri yang
berlangsung pada 6 Februari 2003.
Terbentuknya
kabupaten baru di Provinsi Papua Barat seperti Kaimana, Teluk Wondama,
Sorong Selatan, Maybrat, dan dua yang terbaru yaitu Manokwari Selatan
dan Pegunungan Arfak menggambarkan begitu bergairahnya keberlangsungan
pemekaran daerah di wilayah Provinsi Papua Barat. Di tengah diversitas
budaya yang tinggi di wilayah vogelkop (kepala burung) ini, selalu
muncul keinginan untuk memecah wilayah kembali dalam bentuk
kabupaten-kabupaten baru. Demam pemekaran sangat jelas terlihat dari
keinginan beberapa elemen rakyat Papua untuk memekarkan daerahnya
menjadi 33 DOB, 10 DOB adalah hasil pemekaran di Provinsi Papua Barat.
Hal ini sangat mencengangkan sekaligus mengundang keprihatinkan akan
proses dan dampak yang akan terjadi di kemudian hari.
Refleksi
Di tengah
demam pemekaran ini, apakah rakyat Papua bisa mengembangkan
identitas-identitas budayanya yang lebih inklusif? Fenomena pemekaran
secara gamblang memaparkan bagaimana lokalitas kekuasaan begitu nyata
terjadi. Pembagian wilayah-wilayah berdasarkan alasan etnik bahkan
kekerabatan tidak terhindarkan. Nah, di tengah situasi pemekaran seperti
ini, apakah pemakaran daerah memungkinkan bagi orang Papua untuk
mengembangkan identitas-identitas baru yang lebih inklusif bukan
ekslusif berbasis etnik atau bahkan marga tertentu.
Memikirkan
untuk mengembalikan Papua ke titik asli budaya-budaya etnik di tengah
interkoneksi global akan “mengkolonisasi” Papua menjadi wilayah eksotik,
steril, dan tanpa sejarah. Padahal budaya Papua seharusnya dinamik dan
menyejarah dan tidak terisolasi dari perkembangan dunia. Tapi, apakah
pemekaran memungkinkan untuk lahirnya apresiasi terhadap
pembahruan-pembaharuan kebudayaan yang melampaui etnik-etnik? Itulah
letak persoalan dan tantangannya.
Pemekaran
daerah adalah ruang dimana terjadi friksi (persentuhan) antara
kebudayaan etnik dan introduksi kebudayaan luar. Dalam merespon friksi
inilah orang Papua ditantang untuk berpikir dan mengembangkan
pemikirannya untuk melahirkan kreatifitas-kreatifitas baru yang
memungkinkan rakyat Papua memperoleh akses, ruang, dan ekspresi guna
selalu memperbaharui identitas dan kebudayaannya. Tantangan pemekaran
daearah adalah melawan pemikiran untuk mengembalikan identitas dan
kebudayaan Papua ke titik asali tempo dulu. Ruang-ruang interkoneksi
yang terjadi pada pemekaran inilah sebenarnya kesempatan rakyat Papua
untuk memikirkan identitas dan kebudayaannya yang baru, yang akan terus
bergerak dinamis, menyejarah. Di sanalah identitas Papua itu
terus-menerus akan dipikirkan, dikonstruksi, dan diperdebatkan. Dengan
demikian Papua menjadi hidup dan spirit yang akan terus menyala bagi
generasi-generasi berikutnya di tanah yang diberkati ini.
*
Staf Pendidik/Dosen di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas
Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat. Bukunya, Tong Pu Mimpi:
Pembaharuan-Pembaharuan Identitas Budaya
di Tanah Papua segera terbit. Emailnya: ngurahsuryawan@gmail.com.
Sumber : www.tabloidjubi.com
di Tanah Papua segera terbit. Emailnya: ngurahsuryawan@gmail.com.
Sumber : www.tabloidjubi.com